Lorentz

Dari dulu saya pengen banget menjelajahi Papua... singgah ke kedua tempat idaman saya, Taman Nasional Lorentz dan Wamena. Toh meski sampe sekarang belum kesampaian, rasanya cukup terobati dengan adanya banyak buku yang dikirimkan kawan maupun saya beli (waktu diskon tiba tentunya).

Satu buku yang saya dapatkan bulan ini berjudul Indonesie Reisbibliotheek : Irian Jaya – Niew Guinea. Buku bagus, yang sayangnya, sangat sayang, bukan berbahasa ibu atau internasional, tapi Londo...bener – bener Londo alias bahasa Belanda yang saya boro – boro bisa ngomong ini, untuk baca sekedarnya aja susah.

Gile benerrr... pikir bodoh saya menyeruak. Buku tentang kekayaan negeri, yang anak bangsanya justru membaca dalam bahasa ibu negara lain. Alamak, dunia global yang salah kaprah ini! Meski diakui juga, toh buku ini sangat memanjakan pikiran liar saya, menerobos kotak ilmu pengetahuan ekonomi manajemen yang selama ini saya geluti. Ya pastinya dengan bersusah payah buka kamus Londo dong..

Dit reservaat van 1.675.000 hectare strekt zich uit van de Arafurazee tot de hoogste bergen van Indonesie, van zeeniveneau tot the top van de met ijs bedekte Puncak Jaya, ‘s lands hoogste punt. In dit reservaat is praktisch de gehele fauna en flora van Irian vertegenwoordigd. Vooral de plantenwereld is merk-waardig omdat de combinatie van tropisch klimaat en grote hoogten bijzondere plantensoorten heeft opgeleverd. Dit is een geslotn gebied. Zie ook : ‘Sporten : Berbeklimmen’.

Sayangnya, meski dinobatkan sebagai salah satu situs warisan dunia, kawasan ini toh terancam juga oleh ekspansi industri pertambangan. Weleh weleh, susah ini, membuat idealisme jiwa muda ini tergugah, merasa ada kewajiban untuk berbuat, apapun itu.

Beberapa tahun belakangan ini, saya memang mulai konsen ke konservasi lingkungan. Pokok pemikiran tentang upaya penyelamatan lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati. Berusaha memilah dan melihat keterkaitan peran ekonomi dengan bidang ini.

“Conservation movement is in a sense counter – cultural because it argues that the transformation of nature has gone too far” – Martin Holdgate --

EUREKA!

Saya sangat setuju.

Bagi saya konservasi memang menarik. Menggeluti bidang ini kadang membuat batin bergejolak, berpikir dan merefleksikan konservasi serta implikasi pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia,

meski pada akhirnya seperti berkaca di cermin retak..

Sewaktu saya lulus S1, proses konservasi lingkungan hidup, kehutanan dan pendidikan lingkungan yang saya lakukan lebih pada sekedar kecintaan akan negeri ini (dan hobi tentunya). But now, di usia yang mulai beranjak dewasa, saya ingin melakukan segala sesuatu lebih dari sekedar cinta anak negeri. Bukankah orang menjadi tua itu toh hanya masalah waktu, tapi orang menjadi dewasa justru bila kita mau belajar dari pengalaman?!

Suerr nih, saya jadi inget temen – temen yang bergerak di aktivitas untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati Indonesia. Salah satu teman saya, Mbah Didik, bahkan benar – benar memberikan waktu, tenaga dan pikirannya untuk meneliti Harimau Jawa. Masuk keluar hutan, turun naik gunung buat cari jejak, nungguin, bermalam dalam terik panas dan basahnya hujan....
Puiiih, membayangkan saja cukup membuat saya merinding.
Piye kabarmu saiki mbah? Masih hobi nungguin ingon-ingonmu berminggu – minggu di alas Muria? Udah dapat jejak dimana aja?

Meski banyak kalangan bilang, Harimau Jawa udah punah, toh teman satu ini tetap eksis dengan idealismenya.. Harimau Jawa masih ada.. Saya, yang jadi temannya aja kadang skeptis, sampai pernah kepleset ngomong pesimis sama mbak Dewi, istrinya,..... “Yakin mbak, masih ada ? jangan – jangan yang adapun sudah menjadi hiasan Reog Ponorogo ato tersimpan dalam bentuk koleksi –koleksi pribadi” :)

Apapun yang terjadi, salut saya untuknya.

Bravo, Mbah Didik ..

Maret, 2007
Lama nggak turun ke lapangan nih, jadi bener –bener pengen ke Papua. Nggak cuma berkelana imajinatif macem sekarang ini.
Besok ? Lusa ? Entah kapan ...

Comments

Popular Posts