Ketulusan yang Ternafikan?!

Seorang sahabat bercerita, kebaikan tidaklah pula akan berbalas dengan kebaikan. Dan tidaklah keburukan yang dibalas dengan kebaikan akan berubah menjadi kebaikan. Bingung? Kalau menurut pendapat saya sih, dalam hidup di dunia yang notabene cuma mampir ini, sebisa mungkin ya berbuat kebaikan sebanyak – banyaknya. :)

Well, yang dikatakan sahabat tadi gak sepenuhnya salah sih. Saya pernah mengalami dimana kebaikan dan ketulusan yang telah saya lakukan telah dinafikan seorang sahabat dengan pahitnya. Penghindaran atas nama kebaikan, membuat saya merasa pincang untuk beberapa waktu. Gelisah dan terus bertanya apa salah persahabatan ini. Lelah namun kemudian bangkit dengan tegak, bukankah segala sesuatu yang kita lakukan atas nama nurani dan berujung pada ketulusan merupakan suatu bentuk kebaikan? Dan bukankah setiap kebaikan yang kita lakukan dan akan berujung pada kebaikan pula (untuk kita dan orang lain).

Hmm, ini mungkin persoalan absurditas jika kita membuat standard atas ketulusan berdasarkan hitungan matematis dan logika berpikir dengan mendetailkan semua. Istilah take and give yang buat saya tidak bisa berlaku dalam hubungan yang berdasarkan ketulusan, apapun nama hubungan itu. Banyak hal dalam hidup saya selama 28 tahun ini yang berujung pada pelajaran : bahwa nggak semuanya bisa didetailkan.

Susah memang, apalagi untuk ukuran manusia yang sangat detail macam saya, dimana hidup sangat terstruktur, sistematis dan berjalan dalam hirarki tatanan nilai yang sudah mengakar. Meski akhirnya terpaksa harus mengakui, hidup tidak selurus nilai yang saya anut selama ini. Well, ini mungkin sama halnya ketika kita mendetailkan asal usul manusia dengan membandingkan antara kajian agama dan sains dengan teori evolusinya. (Walah, opo to iki..)

Saya jadi inget Soe Hok Gie, salah satu tokoh muda yang saya gandrungi sejak lama. Bukan karena ceritanya yang diangkat dalam layar lebar, atau gara – gara aktor ganteng pemerannya, si Nicholas Saputra yang memang selalu saja membuat termehek-mehek... :)

Kegandrungan yang membelit kuat semenjak pertama baca buku hariannya “Catatan Seorang Demonstran” dan buku ilmiahnya “Orang – orang di persimpangan kiri jalan”,
buku yang terbaca pertama kali di rumah seorang teman.. dan kemudian membuat saya tergelitik untuk mencari dan beli bukunya, berpikir dan mendetailkan semuanya...
Well, banyak pemikirannya yang mungkin sejalan, tapi nggak 100% lho coy...
Ngefans ternyata nggak menjamin sepenuhnya sepakat atas pemikiran idola kita.. benar ga?

Saya ingat betul kutipan yang berulang kali disampaikan Gie “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan. Yang kedua, dilahirkan tapi mati muda. Dan yang tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda”.

Saya tidak sepenuhnya mengerti dan setuju, hingga ujungnya jadi terus menerus mencoba mengapresiasi kutipan tadi. Mitologi yang akhir – akhir ini saya peroleh dari blog seorang teman lama, membantu menelusur darimana Gie membaca kutipan itu. Ingat raja Midas? Raja dalam mitologi Yunani, yang tiap kali menyentuh benda apapun juga, benda tersebut berubah jadi emas? Nah, adalah Silenius, satyr tertua guru Dionesius yang sempat mengucapkan kutipan di atas pada Midas. Dalam studi mitologi dan literatur klasik, ucapan macam ini adalah ungkapan khas sikap pesimistis Yunani-Roma klasik. Ungkapan serupa juga terdengar dari drama Oedipus Rex. (...blog temen juga)

Well, kalau menurut pendapat saya, nasib mempunyai umur panjang bukanlah hal tersial dalam hidup. Justru mungkin bisa menjadi nasib terbaik, kalau umur panjang itu bisa bermanfaat. Ini saya analogikan daripada umur kita pendek, mati muda, tapi nggak berbuat apa – apa juga..

Gimana, setuju nggak?

2008, Cerah, panas dan gerah
Allah, jika Kau berikan umur panjang bagiku...
Berikanlah umur panjang yang bermanfaat

Comments

Popular Posts