To suck out all the marrow of life

Seorang sahabat bercerita akan ’waktunya’ yang serasa habis untuk mengurus keluarga. Hari – harinya selalu disibukkan aktivitas domestik, hingga impiannya untuk bekerja, berkarir sebagai pekerja sains sejati seperti kawan – kawan seprofesinya seolah terasa seperti keinginan yang sulit terwujud. ”Trus kalo menurut kamu gimana?”, tanyanya.

Wah, itu pertanyaan yang kupikir sulit untuk bisa terjawab. Nggak yang secara normatif (the explanatory why/how) maupun secara deskriptif (historically). Yang kutahu, pilihan sahabat tadi memberikan sebagian besar waktunya untuk keluarga tentunya merupakan pilihan yang bijaksana.

Menarik untuk menyadari, bahwa kita nggak selamanya mendapat apa yang kita inginkan. Meski hal itu nggak selalu berimplikasi bahwa diri ini berada dalam keadaan yang serba nggak memuaskan. Menarik juga buat menyadari bahwa seremeh-remehnya posisi yang sedang kita lakoni saat ini, besar kemungkinan ada seseorang di bagian lain dunia (yang mungkin menurut kita ada dalam keadaan yang lebih baik) yang punya keinginan dan impian nggak kesampaian untuk berada di posisi tersebut.

Kalau mau dibilang manusia itu nggak pernah puas, mungkin ada benarnya juga. Tapi mungkin, nggak selamanya grueling mumbling jumbling nya manusia asalnya dari nafsu nggak pernah puas nya. Ada kalanya, manusia ‚hanya nggak peduli pada keindahan-keindahan kecil di seputar pijakan kakinya. Hati dan indera kita dibentuk dan dilatih oleh kekaguman, kekagetan dan perih yang ekstrim. Moment of awe, surprises and despair.

Yaahhh, memang nggak semua hal di dunia ini bisa 'direncana' dan diandelin untuk ngikutin 'rencana' yang udah susah-susah dibikin. Banyak hal yang sebenarnya berada di luar pengendalian kita. Bikin hati jadi bersyukur untuk keadaan apapun di mana kita menemukan diri berada di posisi apa. Karena tentu saja, Allah juga yang memutuskan di posisi mana dan apa yang kita kerjakan. Keputusan siapa sih yang lebih baik dari keputusan Allah?

Well, dengan adanya itu semua, setidak - tidaknya hidup jadi berwarna. Tinggal bagaimana mensikapinya dengan berpikir positif. Mensyukuri kesederhanaan. Bahwa kita hidup. Bahwa kita bernafas, bahwa kita ada. Bahwa kita memiliki teman yang meski tak banyak, namun begitu berharga. Melapangkan hati dan pikiran, mengulurkan tangan, berbagi dengan lain. Hal yang tentunya kita semua bisa melakukan. Entah dengan cara apa yang terbaik buat masing – masing diri kita. Ada dari kita yang akan dapat mempraktekannya dengan cara yang sangat kasat mata, jadi dokter misalnya. Tapi buat sementara kita yang nggak kebagian peran seelit dokter di lapangan kemanusiaan, tetap ada segudang cara lain buat mulai ‘hidup untuk orang lain’.

Apa yang sudah kau lakukan untuk keluarga dekatmu? Berapa sahabat yang kau punya? Apakah kau juga memberikan hal yang sama untuk setiap ketulusan dan kehangatan persahabatan yang ditawarkannya? Pernahkah kau menghampirinya, bukan hanya pada waktu ketika kau sangat membutuhkannya? Kau lihat anak-anak jalanan setiap kali kau berangkat kerja atau kuliah? Apa yang bisa kau mulai coba kerjakan buat mereka?

Hanya dengan meluaskan pandangan keluar dari diri sendiri, hidup jadi benar-benar berarti. Dan dengan mengambil langkah pertama untuk meraih dan membuat hidup orang lain jadi lebih berarti, kita tak lain tengah mereguk hidup sendiri sepenuh-penuhnya. Sampai ke dasar.

That is, ‘to suck out all the marrow of life’.

Comments

Popular Posts