Palestinian, lagi
Laki – laki itu terlihat sangat kurus dengan wajahnya yang tirus. Teramat kurus hingga saya hampir nggak mengenali kalo dia nggak lain adalah sahabat saya bertahun lalu. Sahabat yang hampir lima tahun tak pernah bersua muka. Dan kini ia disini. Kembali dari Palestina. Dari negeri di mana nyawa tak dihargai sebagaimana mestinya.
Wajahnya yang (dulu) tampan, sekarang menyisakan garis – garis kelelahan, tetapi juga gurat – gurat ketulusan sebuah pengabdian. Dengan wajahnya yang tampan dan otak encer lulusan sekolah kedokteran Eropa, (seharusnya) sekarang ini dia sudah jadi pekerja kesehatan yang ’mapan’ di negeri ini. Tapi dia memilih jalannya sendiri, meninggalkan status profesi yang diagungkan banyak orang untuk sebuah pekerjaan tanpa gengsi yang gemerlap.
Saya masih ingat betul, tahun 2004, beberapa hari sebelum peristiwa tsunami Aceh. Satu hari dalam perbincangan serius tentang pilihan hidup yang akan kami ambil. Saya dan dia. (Dan ini sama sekali bukan melulu soal percintaan laki – laki dan perempuan). Kami mengobrol sampai larut malam. Mencoba menelisik apa yang akan kami lakukan ke depan. Dan dia sampaikan pilihannya untuk jadi warga dunia. Mengabdikan dirinya untuk siapapun, dimanapun, kapanpun, sepanjang lahir dan batin masih sanggup untuk melakukan itu semua. Gila, fikir saya berteriak. Berjuta orang berharap menjadi dirinya, tapi dia tak sedikitpun tertarik dengan status mentereng yang dengan mudahnya bisa ia raih. Justru berpikir untuk memberikan kontribusi ke komunitas yang lebih luas (dibanding kontribusi ke kantong dan masa depan sendiri). Saya pun membisu. Tak mampu mengungkapkan apa yang tadinya ingin sampaikan. Dan kami termenung. Dua orang sahabat dengan pilihannya sendiri. Saya dengan pendidikan, dan dia dengan pengabdiannya.
Kini takdir mempertemukan kami kembali dengan caranya sendiri.
Laki – laki tirus itu tersenyum. Dan saya tercenung.
Tergagu dalam asa atas ceritanya tentang Palestina. Sebuah negeri dimana keadilan sama sekali tak bisa ditegakkan. Dimana dengan alasan keamanan (Israel), jalan masuk ke ratusan kota dan desa ditutup. Dimana rakyat bergerak sembunyi – sembunyi dalam negaranya sendiri karena ketakutan. Seperti halnya orang asing yang tak diinginkan, senantiasa dilecehkan dan tak pernah merasa aman. Rakyat merdeka yang tak bisa lagi merdeka. Hidup di atas tanah miliknya sendiri dengan toleransi dan belas kasihan rakyat Israel. Dan yang lebih parah, terancam terusir dari negerinya sendiri, dikeluarkan secara beramai-ramai. Dengan paksa.
Perih.
Dan sahabat pun berpamit. Seorang intelektual berbakat dengan tekad seteguh karang dan hati yang begitu tulus. Dan ia memilih jalan hidupnya, sekali lagi, dengan caranya sendiri.
Saudaraku, kali ini aku berjanji tak mengkuatirkan keselamatanmu lagi. Kutitipkan kau sepenuhnya kini pada Yang Maha Melindungi. Doaku selalu untukmu. Dan juga seluruh saudaraku yang teraniaya di tanah Palestinian sana.
Wajahnya yang (dulu) tampan, sekarang menyisakan garis – garis kelelahan, tetapi juga gurat – gurat ketulusan sebuah pengabdian. Dengan wajahnya yang tampan dan otak encer lulusan sekolah kedokteran Eropa, (seharusnya) sekarang ini dia sudah jadi pekerja kesehatan yang ’mapan’ di negeri ini. Tapi dia memilih jalannya sendiri, meninggalkan status profesi yang diagungkan banyak orang untuk sebuah pekerjaan tanpa gengsi yang gemerlap.
Saya masih ingat betul, tahun 2004, beberapa hari sebelum peristiwa tsunami Aceh. Satu hari dalam perbincangan serius tentang pilihan hidup yang akan kami ambil. Saya dan dia. (Dan ini sama sekali bukan melulu soal percintaan laki – laki dan perempuan). Kami mengobrol sampai larut malam. Mencoba menelisik apa yang akan kami lakukan ke depan. Dan dia sampaikan pilihannya untuk jadi warga dunia. Mengabdikan dirinya untuk siapapun, dimanapun, kapanpun, sepanjang lahir dan batin masih sanggup untuk melakukan itu semua. Gila, fikir saya berteriak. Berjuta orang berharap menjadi dirinya, tapi dia tak sedikitpun tertarik dengan status mentereng yang dengan mudahnya bisa ia raih. Justru berpikir untuk memberikan kontribusi ke komunitas yang lebih luas (dibanding kontribusi ke kantong dan masa depan sendiri). Saya pun membisu. Tak mampu mengungkapkan apa yang tadinya ingin sampaikan. Dan kami termenung. Dua orang sahabat dengan pilihannya sendiri. Saya dengan pendidikan, dan dia dengan pengabdiannya.
Kini takdir mempertemukan kami kembali dengan caranya sendiri.
Laki – laki tirus itu tersenyum. Dan saya tercenung.
Tergagu dalam asa atas ceritanya tentang Palestina. Sebuah negeri dimana keadilan sama sekali tak bisa ditegakkan. Dimana dengan alasan keamanan (Israel), jalan masuk ke ratusan kota dan desa ditutup. Dimana rakyat bergerak sembunyi – sembunyi dalam negaranya sendiri karena ketakutan. Seperti halnya orang asing yang tak diinginkan, senantiasa dilecehkan dan tak pernah merasa aman. Rakyat merdeka yang tak bisa lagi merdeka. Hidup di atas tanah miliknya sendiri dengan toleransi dan belas kasihan rakyat Israel. Dan yang lebih parah, terancam terusir dari negerinya sendiri, dikeluarkan secara beramai-ramai. Dengan paksa.
Perih.
Dan sahabat pun berpamit. Seorang intelektual berbakat dengan tekad seteguh karang dan hati yang begitu tulus. Dan ia memilih jalan hidupnya, sekali lagi, dengan caranya sendiri.
Saudaraku, kali ini aku berjanji tak mengkuatirkan keselamatanmu lagi. Kutitipkan kau sepenuhnya kini pada Yang Maha Melindungi. Doaku selalu untukmu. Dan juga seluruh saudaraku yang teraniaya di tanah Palestinian sana.
Comments