Wiken di Tambaklorok
-----------------------------
Rutinitas minggu ini ditutup dengan ritual saban wiken bareng orang tua dan adikku : ke Tambaklorok, beli ikan segar. Lumayan menenangkan setelah seminggu penat berkutat dengan rutinitas aktivitas. Bak uap panas dari secangkir kopi yang baru diseduh.
Pergi ke Tambaklorok adalah pergi melewati pergulatan hidup masyarakat pantai Semarang yang dimulai sejak pagi buta. Peri kehidupan yang tak tertata serapi harap. Jam yang lalunya tak jatuh satu-satu seperti jam pasir, namun sirkuler berputar dalam pengulangan yang kreatif. Tak ada wajah santai melenggang wangi para fashionesta sebagaimana pemandangan lazim di mal – mal berpajak 100 persen. Yang ada adalah tubuh-tubuh yang tergesa dicambuk kebutuhan sesehari.
Ibu penjual ikan langganan kami ngobrol ala kadarnya dengan seorang pembeli, langganan juga rupanya. Mereka bicara tentang sulitnya melaut di musim angin barat yang penuh ombak seperti sekarang. Sang penjual, entah sekedar basa-basi entah memang sedang butuh orang asing untuk mengadu, dengan bebasnya membagi kekhawatiran akan kelangsungan hidupnya. Tentang beberapa penghematan pengeluaran yang mungkin akan diputuskannya di hari-hari ke depan, SPP sekolah anaknya yang belum tau apakah bisa terbayar bulan ini, harga rajungan yang makin hari makin menurun, belum lagi ancaman rob yang makin meninggi menuntut rumahnya segera ditinggikan kalau nggak mau tenggelam ditelan rob. Sebuah bagi rasa yang mengalir begitu bebas.
Etika pergaulan yang tak ketat, tanpa privasi. Pergaulan khas masyarakat kelas bawah negeri ini. Mereka dengan mudah bisa berkeluh kesah tentang hidup dengan siapapun. Meski pun tahu keluh kesahnya hanya terbayar pengurangan beban psikis sesaat. Keluh yang sarat makna, karena perjuangan dalam hidup tak semudah teori ekonomi diatas kertas. Sesuatu yang sangat jarang terdengar di bahas dalam kampus menara gadingku. Di mana privasi, correctness dan logika tereja begitu ketatnya dalam etika pergaulan akademis. Di mana hampir tiap insan yang terlibat di dalamnya seringkali membahas model ekonomika nan rumit demi menganalisis maju mundurnya bisnis perusahaan besar, namun sayang senyatanya sangat jarang menyentuh akar rumput di bawah.
Tak pernah ada analisis ekonomi nan rumit di jalan-jalan ke Tambaklorok. Namun aku senang aku kesana. Dan aku akan kesana lagi. Berharap menemukan sesuatu yang bisa dilakukan.
Rutinitas minggu ini ditutup dengan ritual saban wiken bareng orang tua dan adikku : ke Tambaklorok, beli ikan segar. Lumayan menenangkan setelah seminggu penat berkutat dengan rutinitas aktivitas. Bak uap panas dari secangkir kopi yang baru diseduh.
Pergi ke Tambaklorok adalah pergi melewati pergulatan hidup masyarakat pantai Semarang yang dimulai sejak pagi buta. Peri kehidupan yang tak tertata serapi harap. Jam yang lalunya tak jatuh satu-satu seperti jam pasir, namun sirkuler berputar dalam pengulangan yang kreatif. Tak ada wajah santai melenggang wangi para fashionesta sebagaimana pemandangan lazim di mal – mal berpajak 100 persen. Yang ada adalah tubuh-tubuh yang tergesa dicambuk kebutuhan sesehari.
Ibu penjual ikan langganan kami ngobrol ala kadarnya dengan seorang pembeli, langganan juga rupanya. Mereka bicara tentang sulitnya melaut di musim angin barat yang penuh ombak seperti sekarang. Sang penjual, entah sekedar basa-basi entah memang sedang butuh orang asing untuk mengadu, dengan bebasnya membagi kekhawatiran akan kelangsungan hidupnya. Tentang beberapa penghematan pengeluaran yang mungkin akan diputuskannya di hari-hari ke depan, SPP sekolah anaknya yang belum tau apakah bisa terbayar bulan ini, harga rajungan yang makin hari makin menurun, belum lagi ancaman rob yang makin meninggi menuntut rumahnya segera ditinggikan kalau nggak mau tenggelam ditelan rob. Sebuah bagi rasa yang mengalir begitu bebas.
Etika pergaulan yang tak ketat, tanpa privasi. Pergaulan khas masyarakat kelas bawah negeri ini. Mereka dengan mudah bisa berkeluh kesah tentang hidup dengan siapapun. Meski pun tahu keluh kesahnya hanya terbayar pengurangan beban psikis sesaat. Keluh yang sarat makna, karena perjuangan dalam hidup tak semudah teori ekonomi diatas kertas. Sesuatu yang sangat jarang terdengar di bahas dalam kampus menara gadingku. Di mana privasi, correctness dan logika tereja begitu ketatnya dalam etika pergaulan akademis. Di mana hampir tiap insan yang terlibat di dalamnya seringkali membahas model ekonomika nan rumit demi menganalisis maju mundurnya bisnis perusahaan besar, namun sayang senyatanya sangat jarang menyentuh akar rumput di bawah.
Tak pernah ada analisis ekonomi nan rumit di jalan-jalan ke Tambaklorok. Namun aku senang aku kesana. Dan aku akan kesana lagi. Berharap menemukan sesuatu yang bisa dilakukan.
Comments
Mbak tuch mahasiswa apa dosen yach?
Q suka tampilan blognya loh. Simpel tapi kok gimanaaa gituh.
Posting lagi ya neng, bisa jadi obat suntuk gw. Nice blog, nice blogger ^^