Reflection

----------------









Kemarin dulu saya pernah bilang kalau diciptakan sebagai manusia merupakan anugerah terbesar dari Yang Maha Memberi. Sebagai manusia, kita memiliki berbagai faset emosi yang luar biasa unik. Manusia mampu mengalami sedih sekaligus geli, kecewa sekaligus tertawa, dua konklusi yang seolah saling meniadakan karena seringkali teralami bersama.

Dan entah kenapa pula semua itu sekarang mesti terjadi ketika saya sedang belajar mengenal diri sendiri. Usia melewati twenty-something. Rentang usia di mana seseorang mulai curiga bahwa keyakinan akan apa yang diri ingini tidaklah tertancap berakar dalam. Lebih kocak lagi, mungkin ini pula rentang usia di mana seseorang tercelikkan dan jadi vokal akan semua yang salah di dunia. Di sini pula seseorang jadi sadar bahwa jadi vokal tanpa tercebur dan basah kuyup adalah sesuatu yang lucu lagi ironis dalam dirinya sendiri.

Dan satu lagi rumor lain yang lebih menggelitik: rumor bahwa jadi salah satu sekrup, atau sekring, atau otak dari mesin besar bernama dunia bukanlah pilihan buruk. Bukan hanya karena implikasi ekonomis atau sosial dari pilihan semacam. Pilihan macam ini memiliki alasan yang lebih hakiki: bahwa tak ada yang salah dari dunia, at the first place. Dan kalaupun ada yang terasa salah dari dunia, akar dan solusi dari 'rasa salah' ini bukanlah sesuatu yang material, namun spiritual. Atau kalaupun ada yang salah dari dunia, solusi yang realistis bukanlah sesuatu nan global, namun aksi bite size. Kecil dan sederhana.

Ah ya, satu lagi. Di usia dua puluh sekian, saya jadi teringat lagi kutipan dari Socrates: Unreflected life is not worth living. Dan justru di usia sekian pula saya mulai curiga: Over-reflected life is not worth living.

Well, apa yang mengalir diatas sebenarnya dipicu fenomena dalam diri yang terjadi minggu lalu. Siang bolong, terbenam dalam pekerjaan yang menumpuk di kampus, sambil srupat sruput kopi instant bikinan sendiri, ketika tiba-tiba benak ini ngelayap bikin analogi ngawur antara kopi encer dan hidup saya. Hal serupa ini emang sering terjadi dalam hidup saya - (di mana wangsit tiba-tiba mengetuk pintu benak yang super chaotic dan nyaris senantiasa dalam mode multitasking ini) - , dan saking seringnya terjadi sehingga nggak ada yang perlu dikuatirkan pada komponen otak saya yang sepertinya memang baik-baik saja :)

Entah kenapa tapi pikir-pikir belakangan saya kok ngerasa hidup saya makin mirip kopi encer ya.. Terlalu datar, nggak nendang, nggak intens.

Bangun dini hari, menguap kanan kiri, hidupin pemanas air buat bikin kopi panas, ke kamar mandi, wudhu dan lain sebagainya, bersimpuh menyapa Yang Empunya Hidup, baca-baca nunggu subuh, olahraga bentar, sarapan sambil mencoba membuat catatan mental apa aja yang mesti dikerjakan hari ini, trus off to work.

Di kampus, mulai memain-mainkan berbagai item di catatan mental yang dibuat pagi tadi, mencocok-cocokkan waktu dan mengira-ngira berapa lama masing-masing item pekerjaan bakal memakan tempo, juggling beberapa hal dalam satu momen, pergi makan siang, tulis report ini itu, baca artikel ini itu buat nulis report yang lain, main-main di jurusan bentar, ke perpus, terkadang ke toko buku, terkadang ngobrol dengan teman, pulang, leyeh-leyeh, cerita dengan keluarga, makan malam sambil ngobrol dengan adik-adik, terkadang nonton film dari DVD, baca-baca menunggu kantuk menjemput untuk kemudian bangun njenggirat ketika alarm berteriak mewartakan hari baru di depan pintu...

Siklus datar yang mulai terasa membosankan. Siklus aktivitas yang – sejujurnya – akhir-akhir ini mulai saya pertanyakan arah dan pengaruhnya ke gambar besar kehidupan saya.

Hidup yang encer saja. Tak lebih dari rutinitas di rel yang sudah dipancang dari mula. Tak ada excitement yang baru di setiap tikungan hari. Excitement yang menari-nari di lidah di setiap hirupan nafas hidup. Excitement, sensasi yang absen di hirup demi hirup nafas hidup yang datar-datar aja.

Bisa jadi saya terlena karena segala yang ada di sekitar diri seolah menyatakan bahwa tempat saya memang cuma di sini, makanya diri ini pun jadi permisif. Inggah inggih saja dengan semua yang terjadi. Bahkan mungkin tanpa sadar saya belajar untuk down-sizing impian sendiri.

Tapi ada sesuatu di selisip sel-sel kelabu ini yang terus mengingatkan diri bahwa ada yang geseh antara impian yang dulu dengan kenyataan sekarang. Sesuatu yang mengemuka jadi rasa bosan (dan mungkin nyaris hampa?) akan rutinitas sesehari.

Mungkin di situ letak solusinya: saya perlu belajar bermimpi lagi. Dan bersama dengan itu, menebus hidup yang mulai terasa sangat encer ini. Menolak menjalani hidup yang ‘realistis’. Hidup nan mudah diprediksi tanpa keliaran mimpi. Belajar untuk berani bermimpi bermuluk-muluk lagi.

Mengentalkan hidup kembali.

Dan kembali mereguk makna hidup yang berwarna.

Comments

Anonymous said…
kalo kita terus-menerus dalam keadaan yang sama akan timbul perasaan seperti itu, pas banget dengan keadaanku.... thank's for the reflection.

Popular Posts