Mendefinisikan diri sendiri
Akhir-akhir ini kok benak saya sering terjebak dalam analisis intuitif tentang berbagai hal ya?! Beberapa saat mengamati berbagai kondisi sosial ekonomi yang carut marut disekitar saya, kadang bikin benak saya berpikir dan bertanya-tanya. Mungkin juga bukan sekedar kondisi yang memang sedang tak menentu, tapi mungkin benak saya ini (yang defaultnya dari sana emang tersetting multitasking) yang justru otomatis jadi berpikir. Sulit mendefinisikan diri sendiri dalam kondisi seperti ini. Ketika menyadari kalo sesungguhnya apa yang dilakukan ternyata tak sepenuhnya sistematis.
Saya kadang merasa kagum sama orang-orang yang dari bicara atau tulisannya tercermin terang kelompok budaya dimana mereka berdiri. Seperti Pramoedya, misalnya. Sedangkan saya, paling nggak bisa mendefinisikan diri sendiri. Polah pikir senantiasa nggak bisa selalu di mode sistematis. Bukan sekedar nggak selalu sistematis, saya juga paling nggak bisa diminta memastikan diri untuk berdiri bagi satu sistem nilai. Well, saya punya nilai-nilai yang saya yakini (dan saya coba untuk konsisten berjalan di dalamnya), tapi kok rasa-rasanya itu nilai sama sekali nggak cocok untuk diklasifikasi ke salah satu kelas nilai klasik yang dikenal khalayak yah ...
Contohnya, saya ini seorang agamis dan memahami segala bentuk pemikiran tentang pengharaman teori sains yang selintas lalu nampak berlawanan dengan keMahaan Tuhan, evolusi misalnya. Namun di lain pihak, saya juga punya keyakinan pada sains, bahwa sains akan membawa manusia lebih dan lebih jauh lagi dalam eksplorasinya di mayapada ini. Dan punya keyakinan pada sains, bagi saya bukan berarti menafikkan sepenuhnya alam lain yang nggak bisa dijelaskan oleh logika sains, bahwa surga itu ada misalnya. Atau bahwa kematian bukanlah titik selesai dari perjalanan seseorang. Senantiasa menghindari pengkotakan. Karena di setiap 'kotak' yang saya lihat itu, selalu ada saja satu hal yang saya nggak merasa sepaham dengannya ...
Juga dengan budaya. Saya ini tinggal di Jawa yang kadangkala sering merasa bingung dengan kemajemukan perkosakataan bahasanya. Itu semua dikontraskan dengan latar belakang saya yang emang sepenuh-penuhnya Jawa. Tapi kok saya ngerasa betah ya meski nggak banyak mengerti tentang bejibun kosakata itu?
Ah, pada akhirnya saya juga yang kepingin bertanya 'Emang kalau saya datang dari satu budaya tertentu, saya mesti ikutan jalannya itu budaya sampai ke detil-detilnya?' Saya pikir kok nggak juga. Sama seperti tiap kotak pemikiran yang mencoba memberi klasifikasi rapi pada setiap inspirasi-inspirasi manusia, budaya juga terkadang nggak cukup untuk menampung seseorang di dalamnya. Manusia jelas lebih rumit dari sekedar satu set nilai yang dianut agregat. Apalagi di waktu seperti sekarang, di mana pertukaran nilai dan pemikiran bisa berlangsung begitu cepat, mudah dan murah, saya pikir tiap manusia punya kapasitas (dan hak) untuk jadi trans-budaya. Trans-nilai.
Well... pada akhirnya, saya tetep nggak bisa tuh mendefinisikan diri sendiri ini ... yah, trans nilai, trans budaya, trans pemikiran. Mungkin itulah saya.. hehehe ^^
Saya kadang merasa kagum sama orang-orang yang dari bicara atau tulisannya tercermin terang kelompok budaya dimana mereka berdiri. Seperti Pramoedya, misalnya. Sedangkan saya, paling nggak bisa mendefinisikan diri sendiri. Polah pikir senantiasa nggak bisa selalu di mode sistematis. Bukan sekedar nggak selalu sistematis, saya juga paling nggak bisa diminta memastikan diri untuk berdiri bagi satu sistem nilai. Well, saya punya nilai-nilai yang saya yakini (dan saya coba untuk konsisten berjalan di dalamnya), tapi kok rasa-rasanya itu nilai sama sekali nggak cocok untuk diklasifikasi ke salah satu kelas nilai klasik yang dikenal khalayak yah ...
Contohnya, saya ini seorang agamis dan memahami segala bentuk pemikiran tentang pengharaman teori sains yang selintas lalu nampak berlawanan dengan keMahaan Tuhan, evolusi misalnya. Namun di lain pihak, saya juga punya keyakinan pada sains, bahwa sains akan membawa manusia lebih dan lebih jauh lagi dalam eksplorasinya di mayapada ini. Dan punya keyakinan pada sains, bagi saya bukan berarti menafikkan sepenuhnya alam lain yang nggak bisa dijelaskan oleh logika sains, bahwa surga itu ada misalnya. Atau bahwa kematian bukanlah titik selesai dari perjalanan seseorang. Senantiasa menghindari pengkotakan. Karena di setiap 'kotak' yang saya lihat itu, selalu ada saja satu hal yang saya nggak merasa sepaham dengannya ...
Juga dengan budaya. Saya ini tinggal di Jawa yang kadangkala sering merasa bingung dengan kemajemukan perkosakataan bahasanya. Itu semua dikontraskan dengan latar belakang saya yang emang sepenuh-penuhnya Jawa. Tapi kok saya ngerasa betah ya meski nggak banyak mengerti tentang bejibun kosakata itu?
Ah, pada akhirnya saya juga yang kepingin bertanya 'Emang kalau saya datang dari satu budaya tertentu, saya mesti ikutan jalannya itu budaya sampai ke detil-detilnya?' Saya pikir kok nggak juga. Sama seperti tiap kotak pemikiran yang mencoba memberi klasifikasi rapi pada setiap inspirasi-inspirasi manusia, budaya juga terkadang nggak cukup untuk menampung seseorang di dalamnya. Manusia jelas lebih rumit dari sekedar satu set nilai yang dianut agregat. Apalagi di waktu seperti sekarang, di mana pertukaran nilai dan pemikiran bisa berlangsung begitu cepat, mudah dan murah, saya pikir tiap manusia punya kapasitas (dan hak) untuk jadi trans-budaya. Trans-nilai.
Well... pada akhirnya, saya tetep nggak bisa tuh mendefinisikan diri sendiri ini ... yah, trans nilai, trans budaya, trans pemikiran. Mungkin itulah saya.. hehehe ^^
Comments