Dilema cinta

Hmm cinta itu apa sih? Demikian diri ini pernah bertanya. Mungkin anda juga? Mungkin tiap manusia pernah punya itu tanya di kepala, one time or another? Aku sih nggak lagi mau nanya-nanya lagi. Aku lagi mau nyinyir soal satu dilema yang diilustrasikan dengan lumayan baik oleh pertanyaan 'cinta itu apa sih?' tadi.

Pikirku agak tersentil dilema yang dialami manusia antara 'memahami' dan 'mengalami'. Ku pikir, itu dia masalahnya dengan upaya untuk menjawab 'cinta itu apa sih?'. Manusia, aku pernah baca, punya setidaknya dua moda untuk memamah satu fenomena. Benak kita bisa membedah satu fenomena jadi pecahan kecil-kecil, dianalisa, dideskripksikan, dikategorisasi. Sementara itu, manusia bisa pula 'sekedar mengalami' satu fenomena. Dan dilema antara keduanya adalah, seringkali ketika kita mencoba memahami suatu fenomena, semakin analitik benak kita pergi, semakin nggak sesuai fenomena tadi dengan pengalaman sendiri. Di pihak lain, ketika kita mengalami sesuatu, pemahaman sering kali absen, bahkan terasa tidak perlu. Di banyak kesempatan, pemahaman bahkan terasa mereduksi makna fenomena tadi bagi diri kita.

Makanya manusia bakal terus bertanya 'cinta itu apa sih?' tanpa pernah menemukan rumusannya yang paling pas. Kita tahu, paham, apa cinta itu justru ketika kita jatuh cinta. Bukannya ketika kita sedang duduk dan berpikir tentang cinta. Bahkan mereka yang sedang jatuh cinta pun kukira akan selalu merasa deskripsi mereka sendiri akan cinta sebagai sesuatu yang feeble, inadequate, nggak cukup dan nggak sepenuhnya menggambarkan keseluruhan emosi dan stimulasi lain yang tengah mereka rasakan. Mungkin karena itu kita kemudian mencipta alegori, puisi, lagu, lukisan, mitos. Cinta, seperti halnya banyak fenomena lain, pada akhirnya paling dekat digambarkan melalui media abstrak, bukan prosa kering ala berita pagi.

Untuk memperlihatkan bahwa cinta bukan satu-satunya fenomena macam ini, coba aja definisikan apa itu 'lucu'. Ditanggung bingung. Lucu itu apa sih? Kita paling tahu lucu itu apa pas kita kemekelen karena denger atau nonton sesuatu yang 'lucu'. Tapi pas disuruh menjabarkan apanya yang lucu dari fenomena yang baru saja ditertawakan? Well, aku sih kadang nggak bisa.

Yang segera terlintas di kepala ku adalah celoteh seorang teman jaman sekolah menengah dulu, kira-kira begini lah, "Yang bikin deg-degan itu bukan pacarannya, tapi proses menuju jadiannya itu lho!".. dasar bocah SMA! Tapi mungkin ada kebenaran dalam celotehnya, hahaha..

Hmm, kalau mau diekstrapolasi menjauh dari mimpi romantis anak ingusan, bunyinya jadi semacam ginilah: "Yang menyenangkan mungkin bukan pernikahannya, tapi proses menuju pernikahan itu sendiri". Pas sudah saatnya bersama komitmen... well, cold feet dulu ajalah. Dan kitapun jadi bingung, kok kayanya dulu termimpi-mimpi pengen bareng-bareng ama seseorang pas seseorangnya udah mau diajak bareng-bareng kok kitanya jadi grogi ya?

Because "..we love the longing more than the fulfillment." mungkiinnn :p

Observasi serupa sebenarnya tercermin juga dari adagium populer: yang penting bukan hartanya, tapi petualangan mencari harta itu sendiri. Entah sudah berapa film atau buku ditulis berpenutup demikian.

Uncertainty. Juga keragu-raguan. Doubt. Betapa pentingnya ketidakpastian dan keragu-raguan dalam merangsang manusia untuk terus jadi dinamis dalam menjelajahi fenomena 'natural', untuk ‘belajar’ sesuatu, untuk jadi lebih ‘bijak’..hehe... aku jadi ikutan cengengesan. Patah dan hancur hati memang bukan sesuatu yang ingin aku alami. Tapi cengengesan di depan sesuatu yang terbayangkan secara kolektif sebagai pengalaman super mengerikan terasa sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh banyak orang belakangan ini.

Banyak yang berpikir bahwa cengengesan berarti tidak serius. Kupikir kita bisa serius sambil tetap menjaga humor diri. Ini masalah sudut pandang. Kelegaan hati untuk menggeser tempat duduk dalam gedung teater besar bernama hidup memang sering mengijinkan diri untuk melihat hal-hal yang sebelumnya tertutupi, entah oleh ego atau emosi sendiri. Manusia tidak lahir dengan mengingat masa depan, kita mengingat apa yang sudah lewat. Apapun yang terjadi hari ini baru akan kita mengerti sungguh makna dan tempatnya ketika suatu saat di masa depan kita menengok ke belakang dan melihatnya dalam konteks yang lebih utuh.

Merasa tidak pasti dan ragu-ragu ini sama halnya dengan ketidakpastian dalam sains yang bisa jadi sumber ketidaknyamanan, sebagian karena para pekerja sains senang menipu diri dengan menyebut bidang mereka sebagai ilmu pasti. Namun ketidakpastian dan keragu-raguan lah yang mengantarkan ke meja kita sekarang aplikasi-aplikasi teknologi menyenangkan macam I-Pod dan lebih penting lagi: penemuan-penemuan tentang natur alam macam, well, fakta bahwa bumi bulat dan berperilaku sesuai serentet rumus matematis.

Makanya, pas baca kalau ada pihak-pihak yang sedang bekerja untuk membuat wiki text book, hatiku bungah pisan. Dan ternyata pas ku buka, ini proyek (tentu saja) bukan barang baru.. hahaha, akunya aja yang ndeso! Ada berbagai teks ilmiah yang tersimpan di sana. Dari pengantar paleoanthropologi sampai sejarah Eropa. Sudah saatnya memang pengetahuan dikembalikan ke ranah publik dan bukannya tersandera di antara tembok-tembok institusi pendidikan tinggi.

Hhh…. Malah lari kemana-mana aku ini, hahaha…

Hmm kembali ke soal cinta… menurutku patah hati memang tidak nyaman hari ini. Entah apa yang akan keluar darinya besok-besok, jika kita menyediakan diri untuk tidak melulu bergumul dalam emosi dan ego sendiri. Jika kita bersedia untuk berlega hati cengengesan dengan anggunnya di hadapan cobaan ini. :)

Selalu ada humor dalam setiap tragedi. Seperti halnya ada tragedi dalam tiap humor. Pada akhirnya, seperti dalam komik keren besutannya Alex Ross: Watchmen, the comedian adalah ia yang memahami hidup dalam segala keabsurdannya, dan melalui pemahamanan itu, memilih untuk tertawa dan memperlakukan hidup seperti adanya: campuran antara drama, tragedi dan komedi.

Hehehe… kacau yaa… aku sebenarnya mau nulis apa sih.. ge jelas juntrungnya begini :p

Comments

Popular Posts