Allah dan Iman
Semalem akhirnya tergoda juga aku menonton 2012. Belum juga puas, sesampai rumah kulanjutkan nonton Knowing-nya si Nicholas Cage. Eh dasar orang sok tau...belum puas lagi kulanjutin dengan dengerin Song For Gaza sesudahnya...hahahaha... Jadi terpana merenungi apa yang sudah aku lakukan dalam dunia yang diberikan Tuhan padaku.
Efek beratnya, dini hari tadi terbangun dengan gelisah. Bersujud dengan si Empunya hidup sampai subuh terlewat. Mencoba beraktivitas seperti biasa... namun sialnya tak juga penuh konsentrasi terkumpul pagi ini. Laptop di atas meja belajar di depanku tak terlalu sering tersentuh tutsnya tadi. Aku mencetak artikel-artikel yang perlu kupahami sebelum kamis depan, mencoba membaca. Namun makna, pemahaman tak mampir di sudut tempatku duduk pagi ini. Benakku bermain ke sana kemari. Bak anak kecil nakal berlari-lari di atas permadani hijau tua, di antara rak-rak buku. Seperti anak kecil, yang ikal rambut, gemuk pipi dan kerling nakalnya mengingatkanmu akan sesuatu. Sesuatu yang tak ada di sini.
Dan aku mulai dalam kebiasaanku untuk menyelesaikan kegelisahanku dalam diam bersamaNYA.. Meski aku coba juga mencairkan suasana, namun kelu dan kaku hati sendiri susah diajak bercanda. Perkara gelisah dan risau atas apa yang aku liat di dunia ini rupa-rupanya masih punya harga tersendiri bagiku: adakalanya enggan ia berbagi tempat dengan sisi ringan hidup macam canda dan ketawa.
Waktu bergerak dengan semakin seringnya aku bertanya padaNYA.. Pertanyaan yang tak terelakkan dan terus bermunculan: "Apa ini sebenarnya Tuhan"
Hhh.. adakalanya aku bisa mengerti. Dan aku pun menyadari.. siapapun mungkin juga akan menanyakan hal yang sama. Bukankah manusia sudah menanyakan hal yang sama sejak lama tentang apapun padaNYA??!! Sebagian umat bahkan kehilangan imannya karena pertanyaan macam ini seolah tak terjawab: membal di hadapan dinding bisu realitas.
Dalam bahasa dillema David Hume: Tuhan Yang Maha Baik tidak akan membiarkan manusia yang dikasihiNYA menderita. Tuhan Yang Maha Kuasa akan mampu mencegah penderitaan (seperti bencana alam, atau kanker) menimpa manusia yang dikasihiNYA. Kalau pada kenyataannya kita melihat begitu banyaknya manusia yang menderita (oleh bencana alam, perang ataupun penyakit), apakah artinya Tuhan tak Maha Kuasa atau Tuhan tak Maha Baik?
Hmm aku tak sedang ingin berpanjang argument dengan akalku untuk menyanggah Hume, meski aku pikir banyak yang bisa dikritik dari premis-premis dillema Hume itu. Adalah satu hal untuk bicara filsafat di kelas, di forum terbuka di antara kontributor yang sama-sama hobi berpikir sambil serupat-seruput kopi hitam tanpa gula. Namun ada hal lain yang lebih penting bagiku…melakukan hal yang selama ini biasa ku lakukan… untuk memikirkan dan merenungkan masalah ini di hadapanNYA secara langsung.. hanya denganNYA..
Aku tak punya kata-kata bestari buat diriku sendiri dalam hal ini... Tak ada insight istimewa dari akalku yang mampu menerangi keadaan saat ini. Dari tempat jiwaku berdiri, tak ada jawaban, searif apapun, dari masalah Theodisi ala Hume di atas yang bisa bikin kegelisahanku lebih sumringah. Ironis. Kadangkala kita sebagai manusia iseng memformulasi masalah praktis jadi problem filsafat, dan kita kutak-katik problem tadi dengan logika. Namun ketika problem filsafat tadi terterjemahkan kembali sebagai masalah praktis, logika tak memberi penghiburan.
Yang selalu terbersit dalam benakku justru ini: terus berdoa agar iman ini tak pernah goyah di hadapan pertanyaan oleh akalku.. di titik ini aku bisa mengerti mengapa Marx melihat agama sebagai Opium des Volkes. Opiumnya masyarakat kebanyakan. Buat mereka yang melihat diri sebagai umat yang tercerahkan, pasti aneh pemikiranku itu: terus menerus berdoa untuk kuatnya pondasi doa kita kepada Oknum yang keberadaannya sedang dipertanyakan oleh situasi yang bikin kita berdoa...
Namun bukankah itulah iman? Bukti dari segala yang tidak kita lihat? InsyaALLAH.. Bukankah dalam kukuh dan yakinnya untuk tetap berdoa dan berserah bahkan ketika Subyek Agung di seberang sana sedang dipertanyakan kebaikan dan kemahakuasaanNYA, kita justru bisa melihat iman??!
Memang belakangan ini banyak tersua olehku berbagai varian dari pertanyaan (yang sekaligus pernyataan) tentang hidup… tentang manfaat diri dilahirkan dalam dunia yang diberikan Tuhan ini… Dan kemudian pikirku lagi: "Bukankah tak semua pertanyaan mesti berjawab?"
Rasanya kok absurd sekali untuk membenarkan seluruh keingintahuan kita yang serba genit dan seringkali mbulet tak berdasar logika itu dengan pertanyaan (pernyataan?) sok bijak serba universalis macam di atas.
Gelisah karena dengan membenarkan diri macam demikian, sebenarnya manusia tengah menyerah kepada misteri, padahal Yang Maha Misteri sendiripun menjanjikan bahwa pada saatnya semua pertanyaan akan dijawab.
"Bukankah tak semua pertanyaan mesti berjawab sekarang juga?"
Mungkin itu koreksi versiku.
Yang punya konsekuensi untuk terus berikhtiar bertanya, dan hidup dalam ketegangan mencari jawaban. Termasuk jawaban atas apa yang terjadi dan aku rasakan saat ini..
Efek beratnya, dini hari tadi terbangun dengan gelisah. Bersujud dengan si Empunya hidup sampai subuh terlewat. Mencoba beraktivitas seperti biasa... namun sialnya tak juga penuh konsentrasi terkumpul pagi ini. Laptop di atas meja belajar di depanku tak terlalu sering tersentuh tutsnya tadi. Aku mencetak artikel-artikel yang perlu kupahami sebelum kamis depan, mencoba membaca. Namun makna, pemahaman tak mampir di sudut tempatku duduk pagi ini. Benakku bermain ke sana kemari. Bak anak kecil nakal berlari-lari di atas permadani hijau tua, di antara rak-rak buku. Seperti anak kecil, yang ikal rambut, gemuk pipi dan kerling nakalnya mengingatkanmu akan sesuatu. Sesuatu yang tak ada di sini.
Dan aku mulai dalam kebiasaanku untuk menyelesaikan kegelisahanku dalam diam bersamaNYA.. Meski aku coba juga mencairkan suasana, namun kelu dan kaku hati sendiri susah diajak bercanda. Perkara gelisah dan risau atas apa yang aku liat di dunia ini rupa-rupanya masih punya harga tersendiri bagiku: adakalanya enggan ia berbagi tempat dengan sisi ringan hidup macam canda dan ketawa.
Waktu bergerak dengan semakin seringnya aku bertanya padaNYA.. Pertanyaan yang tak terelakkan dan terus bermunculan: "Apa ini sebenarnya Tuhan"
Hhh.. adakalanya aku bisa mengerti. Dan aku pun menyadari.. siapapun mungkin juga akan menanyakan hal yang sama. Bukankah manusia sudah menanyakan hal yang sama sejak lama tentang apapun padaNYA??!! Sebagian umat bahkan kehilangan imannya karena pertanyaan macam ini seolah tak terjawab: membal di hadapan dinding bisu realitas.
Dalam bahasa dillema David Hume: Tuhan Yang Maha Baik tidak akan membiarkan manusia yang dikasihiNYA menderita. Tuhan Yang Maha Kuasa akan mampu mencegah penderitaan (seperti bencana alam, atau kanker) menimpa manusia yang dikasihiNYA. Kalau pada kenyataannya kita melihat begitu banyaknya manusia yang menderita (oleh bencana alam, perang ataupun penyakit), apakah artinya Tuhan tak Maha Kuasa atau Tuhan tak Maha Baik?
Hmm aku tak sedang ingin berpanjang argument dengan akalku untuk menyanggah Hume, meski aku pikir banyak yang bisa dikritik dari premis-premis dillema Hume itu. Adalah satu hal untuk bicara filsafat di kelas, di forum terbuka di antara kontributor yang sama-sama hobi berpikir sambil serupat-seruput kopi hitam tanpa gula. Namun ada hal lain yang lebih penting bagiku…melakukan hal yang selama ini biasa ku lakukan… untuk memikirkan dan merenungkan masalah ini di hadapanNYA secara langsung.. hanya denganNYA..
Aku tak punya kata-kata bestari buat diriku sendiri dalam hal ini... Tak ada insight istimewa dari akalku yang mampu menerangi keadaan saat ini. Dari tempat jiwaku berdiri, tak ada jawaban, searif apapun, dari masalah Theodisi ala Hume di atas yang bisa bikin kegelisahanku lebih sumringah. Ironis. Kadangkala kita sebagai manusia iseng memformulasi masalah praktis jadi problem filsafat, dan kita kutak-katik problem tadi dengan logika. Namun ketika problem filsafat tadi terterjemahkan kembali sebagai masalah praktis, logika tak memberi penghiburan.
Yang selalu terbersit dalam benakku justru ini: terus berdoa agar iman ini tak pernah goyah di hadapan pertanyaan oleh akalku.. di titik ini aku bisa mengerti mengapa Marx melihat agama sebagai Opium des Volkes. Opiumnya masyarakat kebanyakan. Buat mereka yang melihat diri sebagai umat yang tercerahkan, pasti aneh pemikiranku itu: terus menerus berdoa untuk kuatnya pondasi doa kita kepada Oknum yang keberadaannya sedang dipertanyakan oleh situasi yang bikin kita berdoa...
Namun bukankah itulah iman? Bukti dari segala yang tidak kita lihat? InsyaALLAH.. Bukankah dalam kukuh dan yakinnya untuk tetap berdoa dan berserah bahkan ketika Subyek Agung di seberang sana sedang dipertanyakan kebaikan dan kemahakuasaanNYA, kita justru bisa melihat iman??!
Memang belakangan ini banyak tersua olehku berbagai varian dari pertanyaan (yang sekaligus pernyataan) tentang hidup… tentang manfaat diri dilahirkan dalam dunia yang diberikan Tuhan ini… Dan kemudian pikirku lagi: "Bukankah tak semua pertanyaan mesti berjawab?"
Rasanya kok absurd sekali untuk membenarkan seluruh keingintahuan kita yang serba genit dan seringkali mbulet tak berdasar logika itu dengan pertanyaan (pernyataan?) sok bijak serba universalis macam di atas.
Gelisah karena dengan membenarkan diri macam demikian, sebenarnya manusia tengah menyerah kepada misteri, padahal Yang Maha Misteri sendiripun menjanjikan bahwa pada saatnya semua pertanyaan akan dijawab.
"Bukankah tak semua pertanyaan mesti berjawab sekarang juga?"
Mungkin itu koreksi versiku.
Yang punya konsekuensi untuk terus berikhtiar bertanya, dan hidup dalam ketegangan mencari jawaban. Termasuk jawaban atas apa yang terjadi dan aku rasakan saat ini..
Comments