Krisis
Menurut sampeyan, hidup sampeyan itu ada artinya atau nggak?
Kalau sampeyan sarjana, apa yang sudah sampeyan lakukan dengan ilmu yang disertifikati oleh gelar sarjana sampeyan? Kalau sampeyan bisa nyetir mobil, apa yang sudah jadi lebih baik di dunia dengan bisanya sampeyan nyetir mobil? Kalau sampeyan bisa masak bolu kukus, apa sumbangsih mulia yang sudah sampeyan kontribusikan dengan bolu kukus itu?
Sampeyan hidup buat apa? Ilmu, posisi sosial, orang lain, cinta, materi, Tuhan? Semuanya? Kemaruk! Tapi nggak apa-apa, ada kemungkinan cukup besar kok kalau kemaruknya kita itu by design. Buktinya lebih banyak orang kemaruk dari pada enggak. Di jalur pemikiran yang sama, ada kemungkinan yang sama besarnya kalau kita itu munafik by design. Nyatanya meski kemaruk kita jarang mau ngaku. Okelah, katakanlah manusia hidup untuk mencapai level keterpenuhan tertentu di semua front di atas, sudah itu terus apa? Apa hal baik yang benar-benar baik yang keluar dari sana?
Orang barat suka melanggeng-langgengkan nama, ditempel ke nama institusi yang dibangun atas kemurah hatian yang empunya nama, atau tempat berkarya seorang pekerja cemerlang atau malah sekedar mencomot nama biar kecipratan gengsi. Makanya mereka jadi punya Marie Curie Institute, atau MIT Sloan school of management, atau hadiah Nobel dan Pulitzer. Semuanya berimage mentereng. Siapa peduli kalau si Pulitzer semasa hidupnya banyak dikenal sebagai pebisnis licin lagi licik? Pengabadian nama, adalah pemalsuan kenyataan, meski mungkin sebagian dilakukan tanpa kesengajaan. Tapi memang demikianlah memori bekerja bukan? Yang terekam adalah kesan cepat dan bukannya lipatan panjang sejarah yang serba berbelok. Makanya iklan yang cuma 3 menit tapi diulang-ulang biasanya lebih nempel di benak dari informasi dalam buku teks yang tebal dan belum tentu terbaca sepanjang masa hidup yang sayangnya cuma sekali ini.
Kita mengingat Brutus sebagai si culas yang cuma berani menikam dari belakang dan Oedipus sebagai raja tragis yang akan selamanya menanggung dosa karena mempraktikan incest tanpa sengaja. Siapa peduli tentang bijaksananya Oedipus melakukan tugas kepemimpinannya tiap-tiap hari?
Kalau sudah gitu, apa dong sebenernya arti hidupnya si Oedipus malang itu? Bahwa ia malang? That’s it?
Saya sungguh sering skeptis melihat manusia (diri ini termasuk di dalamnya), terutama soal kapasitas manusia untuk tidak melulu berpikir tentang diri sendiri, atau puak sendiri, atau ras sendiri. Pada akhirnya, persaudaraan antar umat manusia adalah kejadian insidental dan bukannya norma. Terbikin jadi permanen hanya dalam lagu, cerita, imaji, bukan dalam hidup yang sesungguhnya.
Ketika Israel dan Hisbullah bertukar peluru kendali, Amerika tak bosannya bermain-main jadi polisi dunia, petani kapas di India ramai-ramai bunuh diri karena harga kapas yang terus anjlok.
Seorang pemimpin serikat petani di India dikutip berkata, “If I were given a chance, I would like to be born as a European cow, but certainly not as and Indian farmer, in my next birth. There, a cow gets a US $2 subsidy per day and enjoys all the comforts. And here, in India, a farmer is a debtor all his life, post his death, his son inherits his debts and has to borrow money for his funeral.”
Perang itu mahal, literally: mahal. Dan sementara ada dari kita sesama manusia yang sedemikian papanya hingga iri melihat hidup sapi-sapi Eropa, begitu banyak dana justru digelontorkan ke kegiatan saling meniadakan.
I just don’t get it.
Saya ini sebenernya mau ngomong apa sih?
Nggak tahu.
Mungkin sampeyan tahu?
Kalau sampeyan sarjana, apa yang sudah sampeyan lakukan dengan ilmu yang disertifikati oleh gelar sarjana sampeyan? Kalau sampeyan bisa nyetir mobil, apa yang sudah jadi lebih baik di dunia dengan bisanya sampeyan nyetir mobil? Kalau sampeyan bisa masak bolu kukus, apa sumbangsih mulia yang sudah sampeyan kontribusikan dengan bolu kukus itu?
Sampeyan hidup buat apa? Ilmu, posisi sosial, orang lain, cinta, materi, Tuhan? Semuanya? Kemaruk! Tapi nggak apa-apa, ada kemungkinan cukup besar kok kalau kemaruknya kita itu by design. Buktinya lebih banyak orang kemaruk dari pada enggak. Di jalur pemikiran yang sama, ada kemungkinan yang sama besarnya kalau kita itu munafik by design. Nyatanya meski kemaruk kita jarang mau ngaku. Okelah, katakanlah manusia hidup untuk mencapai level keterpenuhan tertentu di semua front di atas, sudah itu terus apa? Apa hal baik yang benar-benar baik yang keluar dari sana?
Orang barat suka melanggeng-langgengkan nama, ditempel ke nama institusi yang dibangun atas kemurah hatian yang empunya nama, atau tempat berkarya seorang pekerja cemerlang atau malah sekedar mencomot nama biar kecipratan gengsi. Makanya mereka jadi punya Marie Curie Institute, atau MIT Sloan school of management, atau hadiah Nobel dan Pulitzer. Semuanya berimage mentereng. Siapa peduli kalau si Pulitzer semasa hidupnya banyak dikenal sebagai pebisnis licin lagi licik? Pengabadian nama, adalah pemalsuan kenyataan, meski mungkin sebagian dilakukan tanpa kesengajaan. Tapi memang demikianlah memori bekerja bukan? Yang terekam adalah kesan cepat dan bukannya lipatan panjang sejarah yang serba berbelok. Makanya iklan yang cuma 3 menit tapi diulang-ulang biasanya lebih nempel di benak dari informasi dalam buku teks yang tebal dan belum tentu terbaca sepanjang masa hidup yang sayangnya cuma sekali ini.
Kita mengingat Brutus sebagai si culas yang cuma berani menikam dari belakang dan Oedipus sebagai raja tragis yang akan selamanya menanggung dosa karena mempraktikan incest tanpa sengaja. Siapa peduli tentang bijaksananya Oedipus melakukan tugas kepemimpinannya tiap-tiap hari?
Kalau sudah gitu, apa dong sebenernya arti hidupnya si Oedipus malang itu? Bahwa ia malang? That’s it?
Saya sungguh sering skeptis melihat manusia (diri ini termasuk di dalamnya), terutama soal kapasitas manusia untuk tidak melulu berpikir tentang diri sendiri, atau puak sendiri, atau ras sendiri. Pada akhirnya, persaudaraan antar umat manusia adalah kejadian insidental dan bukannya norma. Terbikin jadi permanen hanya dalam lagu, cerita, imaji, bukan dalam hidup yang sesungguhnya.
Ketika Israel dan Hisbullah bertukar peluru kendali, Amerika tak bosannya bermain-main jadi polisi dunia, petani kapas di India ramai-ramai bunuh diri karena harga kapas yang terus anjlok.
Seorang pemimpin serikat petani di India dikutip berkata, “If I were given a chance, I would like to be born as a European cow, but certainly not as and Indian farmer, in my next birth. There, a cow gets a US $2 subsidy per day and enjoys all the comforts. And here, in India, a farmer is a debtor all his life, post his death, his son inherits his debts and has to borrow money for his funeral.”
Perang itu mahal, literally: mahal. Dan sementara ada dari kita sesama manusia yang sedemikian papanya hingga iri melihat hidup sapi-sapi Eropa, begitu banyak dana justru digelontorkan ke kegiatan saling meniadakan.
I just don’t get it.
Saya ini sebenernya mau ngomong apa sih?
Nggak tahu.
Mungkin sampeyan tahu?
Comments