Potret
Cafe, aroma kopi pekat langu, musik terlantun tanpa mengganggu. Kursi-kursi membagi-bagi ruang jadi dunia-dunia privat. Majalah dibaca di satu meja, dua orang saling pandang tanpa bicara, newspaper lecek di meja lain.
Cafe, penerangan individual. Temaram yang spesifik. Melankolik tanpa jadi dramatik. Garpu, pisau beradu berdenting. Piring keramik. Mug bulat besar, kopi hitam kental. Orang bicara, tertawa, berbisik. Rahasia, kabar berita dari ceruk sesehari, angan masa depan, catatan masa lalu, lekuk liku benak dewa-dewa. Bisik mesra.
Cafe, di mana lelah menguap menuhi udara. Henti nan tergesa. Sekedar cukup buat secangkir jeda. Latte, espresso, americano, chai, just black, yang manapun. Manis, pahit, pesta. Lidah kelu berhenti mengecap, sekedar merindu gelitik cangkir berikut. Yang manapun.
Cafe, realisme sintetik. Selentingan akan kenyataan yang diam-diam menelusup ke tengah panggung. Potret sempurna nan retak di tengah. Makin lama makin ke pinggir, meluas, meretas. Kopi dingin. Bising jalan di luar mengundang, memeluk.
Aku melangkah pergi.
Cafe, penerangan individual. Temaram yang spesifik. Melankolik tanpa jadi dramatik. Garpu, pisau beradu berdenting. Piring keramik. Mug bulat besar, kopi hitam kental. Orang bicara, tertawa, berbisik. Rahasia, kabar berita dari ceruk sesehari, angan masa depan, catatan masa lalu, lekuk liku benak dewa-dewa. Bisik mesra.
Cafe, di mana lelah menguap menuhi udara. Henti nan tergesa. Sekedar cukup buat secangkir jeda. Latte, espresso, americano, chai, just black, yang manapun. Manis, pahit, pesta. Lidah kelu berhenti mengecap, sekedar merindu gelitik cangkir berikut. Yang manapun.
Cafe, realisme sintetik. Selentingan akan kenyataan yang diam-diam menelusup ke tengah panggung. Potret sempurna nan retak di tengah. Makin lama makin ke pinggir, meluas, meretas. Kopi dingin. Bising jalan di luar mengundang, memeluk.
Aku melangkah pergi.
Comments