Repot memang...

Sungguh mengenaskan kondisi dialog antar perumus nilai di negeri kita.

Ketika pihak yang satu memutuskan beberapa rumusan, pihak yang lain bereaksi dengan ketaksetujuan yang menyengat telinga. Tersinggung, mereka yang jadi klien pihak pertama kemudian mengancam untuk melabrak mengadu otot.

Kalah akal main okol? Ah, tak mesti juga.

Yang sungguh hilang, adalah kesepakatan untuk berbeda pendapat. Agreement to disagree. Kesepakatan macam ini, mungkin kontra intuitif, dibutuhkan bukan di ujung rundingan panjang yang lama dan berbelak-belok. Ia bukanlah sekedar pintu samping dari sebuah jalan buntu.

Keyakinan bahwa kita boleh (dan bisa) tak bersatu pendapat, rupanya dibutuhkan juga sejak mula, sejak sebelum diskusi bergulir. Dengan keyakinan sedemikian, emosi satu pihak yang (tak terhindarkan, seringkali) membuncah tanpa kendali akal dalam sebuah debat dapat dipandang arif oleh pihak yang jadi sasaran. Karena sebenarnya ego-lah, yang berakar dan berbuah keinginan untuk memonopoli kebenaran, yang rentan terluka oleh kata-kata.

Dan sebuah diskusi yang sarat luka-luka ego, hanya karena tak ada kesepakatan bahwa kedua (atau lebih) belah pihak yang tengah bertukar argumen boleh berbeda pendapat, bukanlah diskusi yang layak diandalkan untuk melahirkan kemaslahatan bersama.

Comments

Popular Posts