Magi dan Anak

Aku tumbuh dengan buku di sekitar. Sejak masih belum bisa baca, komik-komik Tintin, Asterix dan Lucky Luke sudah jadi teman pengisi hari. Meski belum bisa baca, toh komik-komik yang sarat gambar dengan pewarnaan apik itu cukup menyenangkan diajak berkhayal. Ibuku penggemar Tintin sejati. Sejak mudanya, beliau mengkoleksi komik besutan Herge yang di Indonesia diterbitkan oleh INDIRA itu.

Sejujurnya aku lebih doyan Asterix sih ketimbang Tintin. Mungkin karena latar waktu dan tempatnya yang terasa lebih fantastik. Ramuan humor segar, fantasi akan ramuan ajaibnya Panoramix, adegan-adegan pukul-pukulan yang meski seru disajikan dengan sentuhan ringan penuh canda bikin Asterix jadi bacaan favorit yang mengantarkanku ke bacaan-bacaan lain yang lebih serius.

Hhhh... orang-orang Romawi memang gila ... :)

Dan di komik bikinan Goscinni dan Uderzo ini, ada tokoh Panoramix dukun Galia yang cool dan jago bikin ramuan ajaib. Siapa yang minum ramuan ajaib Panoramix (yang salah satu bahan bakunya ... minyak bumi! huekkkk ... [baca: Asterix di Mesopotamia]) bakal jadi kuat tak tertandingi. Ramuan inilah yang jadi andalan penduduk desa Galia terakhir ini untuk tetap jadi independen, nggak ikut merunduk di bawah panji Kekaisaran Roma.

Sebagai anak-anak, sempat pula aku bertanya pada bunda, "Ada beneran nggak sih ramuannya si Panoramix tuh?" Kupikir wajar seorang anak bertanya hal semacam itu. Apalagi kalau hari-harinya memang diisi dengan buku-buku macam Asterix ...

Selain Asterix, buku lain yang sempat jadi tema mimpi adalah Peter Pan. Bermula sebagai cerita lisan pengisi waktu luang JM Barrie pada anak-anak teman dekatnya, Peter Pan mendunia sejak novel dan stageplay nya diproduksi di awal 1900an. Setting ceritanya lagi-lagi fantastis: Peter Pan, si jagoan yang nggak beranjak dewasa. Bersenjata pedang kayu dan bisa terbang. Berteman Tinkerbell, peri kecil sexy yang hadirnya mesti ditemani pendar-pendar cahaya. Wendi, cewek dari 'dunia nyata' yang diculik Pan dan gerombolan Lost Boys nya ke Neverland untuk jadi 'ibu' mereka. Dan nggak lupa ... Kapten Hook .. perampok jahat yang satu tangannya udah diganti jadi kait besi. Setting klasik, sebenarnya. Jagoan, Penjahat, segenggam bumbu fantasi di sana-sini. Si jagoan menang, yang jahat kalah. Happy ending. Selagu dengan Asterix juga, yang ceritanya hampir selalu diakhiri oleh pesta babi panggang di desa Galia.

Hal lain yang serupa dari cerita-cerita a la Asterix, atau Peter Pan adalah: di sana-sini selalu diselipkan pesan-pesan moral yang mudah dimengerti. Dalam Peter Pan, Wendi memutuskan kalau tempatnya bukan di Neverland, tapi di rumah sendiri bersama keluarga. Semua keajaiban Neverland nggak ada bandingnya dibanding kehangatan dalam rumah keluarga.

Dan di Asterix, berkali-kali kita temui cerita persahabatan Asterix dan Obelix.

Betapa teman adalah satu hal penting dalam hidup.

Pesan-pesan sederhana, yang meski diulang berkali-kali sejak kecil, lebih sering terlewat di tengah sibuknya hidup.

Dalam konteks ini, semua yang ajaib, segala ramuan, segala peri dan mantra, segala kemampuan untuk terbang, tak lebih dari bumbu yang bikin Asterix atau Peter Pan jadi menarik.

Aku tumbuh dengan pengertian demikian akan ceritera.

Maka ketika Harry Potter terbit dan mulai jadi omongan orang. Hal paling logis buatku adalah ikutan baca. Dan benar juga, JK Rowling memang benar-benar juru dongeng kelas wahid. Dan omong-omong, siapapun yang mengalihbahasakan Harry Potter ke bahasa Indonesia itu jago juga. Salut buat tim Gramedia !!!!

Alangkah terasa aneh buatku, ketika beberapa orang mulai berkasak-kusuk tentang dampak buruk Harry Potter buat pembaca mudanya.

Kalau dibilang bukunya terlalu tebal dan bikin anak-anak sakit kepala, itu mungkin benar. Tapi itu toh tanggung jawab orangtua juga dalam mengajarkan anak batas-batas kemampuan fisik dalam beraktivitas. Sayangnya, keberatan orang paling santer dari buku-buku ini malah berkisar pada tema magi yang memang jadi setting buku ini.

Aku nggak habis pikir!! Kritikus-kritikus ini pasti pada nggak baca literatur yang dibaca anak-anak!! Padahal kalau mau jujur, literatur yang juga dibaca anak-anak sarat sekali dengan tema keajaiban.

Sejak dulu kala !!

Asterix dan Peter Pan seperti yang sudah kuceritakan di depan misalnya. Tanpa ramuan ajaibnya Panoramix, atau kalau Peter Pan nggak bisa terbang, kedua cerita tadi bakal kehilangan kekuatannya. Atau bayangkan Cinderella tanpa penyihir baik hati yang memungkinkannya pergi ke pesta dengan sepatu kaca dan kereta kuda yang disulap dari labu. Atau Puteri tidur tanpa penyihir yang mengutuknya di hari lahir ... ya dia nggak tidur !! hahahaha...

Tapi kenapa nggak pernah ada kritik terhadap Asterix? Peter Pan? Cinderella atau Puteri tidur??

Dalam cerita-cerita di atas, magi adalah bagian tak terpisahkan. Namun selalu, pesan bijak tertanam pula dalam masing-masing kisah. Buatku, Harry Potter bukanlah perkecualian. Magi adalah bagian tak terpisahkan dari karya Rowling, namun bukan berarti magi adalah pesan yang ingin disampaikan. Jika saja mereka yang giat mengkritik itu mau membaca barang satu dua buku Harry Potter tanpa lebih dulu berprasangka. Niscaya mereka bakal menemukan pesan-pesan bertebaran di sana-sini.

Tentang keberanian, persahabatan, kerendahan hati, kejujuran bahkan pengampunan.

Literatur anak, memang sarat dengan keajaiban.

Mungkin karena alam pikiran anak-anak yang masih lebih terbuka pada keajaiban. Dan buatku, justru sisi inilah yang masih ingin kupertahankan hingga nanti ...

Comments

Anonymous said…
wah, sekarang malah yang sedang ngetren anime-anime jepang :D seperti naruto, one piece, bleach :D
♥ Fa ♥ said…
hahaha.. betul..betul..betul :p

Popular Posts