Mengajar = .... + ....

Nama Enrico Fermi kita sering dengar. Menjabat profesor fisika nuklir pertama di Italia di usia 24, Fermi memenangkan hadiah Nobel di umur 37 tahun. Setahun kemudian, Fermi dan keluarganya hijrah ke New York demi menghindari prasangka antisemit yang mulai marak di Italia. Istri Fermi berdarah Yahudi, meski Fermi sendiri Itali totok. Di Columbia University, penelitian Fermi tentang reaksi fisi nuklir mengantarkan Amerika ke proyek Manhattan yang berbuah bom nuklir yang di kemudian hari meledakkan Hiroshima dan Nagasaki. Nama Leo Szilard, di pihak lain, agak lebih jarang terdengar.

Leo Szilard, ilmuwan asal Hungaria berdarah Yahudi ini termasuk dalam gelombang migrasi ilmuwan dari Eropa daratan menghindari pasang naik antisemitisme di Jerman. Sebelum meninggalkan Eropa, Szilard adalah salah satu murid Einstein dan Max Plank di Berlin. Tak lebih dari setahun sebelum Fermi hijrah ke Columbia University, Szilard sudah lebih dulu diundang untuk melakukan penelitian di universitas ini. Szilard adalah pemikir fisika pertama yang menduga kemungkinan reaksi fisi nuklir berantai yang memungkinkan akumulasi energi maha besar ala bom nuklir. Szilard juga memegang hak paten reaktor nuklir pertama bersama Enrico Fermi.

Sedikit berbeda dari Fermi yang lebih berkonsentrasi ke sisi akademik penelitian nya, Leo Szilard gelisah akan implikasi geopolitis riset nuklir. Konon, peneliti-peneliti Jerman yang bersimpati akan ide Sosial Nasionalisme pun telah menemukan prinsip-prinsip fundamental reaksi fisi, dan penelitian ke arah pembangunan senjata pemusnah massal menggunakan prinsip ini mengintip di balik tikungan sejarah. Leo Szilard khawatir bahwa Nazi Jerman akan lebih dulu membangun bom nuklir ketimbang lawan-lawannya. Terlebih lagi, pemerintah Amerika nampaknya suam-suam kuku saja menanggapi perkembangan yang buat Szilard sangat mengkhawatirkan ini. Maka Szilard pun bergerak aktif melobi guru lamanya, Albert Einstein, untuk membujuk presiden Frank D. Roosevelt bersegera melancarkan penelitian terapan yang lebih gencar dalam merakit bom nuklir. Sebagian karena aktivitas Szilard lah proyek Manhattan terbentuk dan bom nuklir terlahir di tanah Amerika.

Satu episode menarik dari drama besar ini terjadi ketika Einstein telah bersetuju dengan Szilard untuk menulis surat ke Presiden Roosevelt menegaskan pentingnya Amerika bergegas merakit bom nuklir. Banyak fisikawan di masa itu mampu dan mumpuni memberi kuliah panjang lebar tentang mekanisme fisi nuklir dan menerangkan kemungkinan pembangunan senjata mutakhir menggunakan mekanisme ini. Namun Einstein mempercayakan misi untuk meyakinkan Roosevelt akan issue kritis ini bukannya ke salah satu fisikawan, namun justru ke seorang ahli ekonomi, Alexander Sachs.

Alexander Sachs lahir di Lithuania namun hijrah ke Amerika Serikat ketika masih berusia 11 tahun. Sachs meraih gelar pasca sarjananya dari Harvard untuk kemudian menjadi professor ekonomi di Princeton. Di era 1930an, Sachs adalah salah seorang penasihat ekonomi presiden Roosevelt.

Konon, Leo Szilard sempat berkomentar pesimis akan kemampuan Sachs memahami dan menjelaskan konsep-konsep susah fisika nuklir ke presiden Roosevelt secara runut dan logis. Tanggapan Einstein akan keberatan Szilard ini buat saya punya insight menarik akan esensi komunikasi dan, secara tidak langsung, mengajar:
"Szilard, kamu memandang cara pikir rasional terlalu tinggi. Terkadang dalam hidup, kita mesti menjual, bukan menerangkan."
Menarik.

Saya pikir, persis di sinilah masalah kita dalam mengajar. Seringkali proses mengajar dalam kelas bertumpu terlalu berat pada aktivitas menerangkan. Padahal, kalau mau dievaluasi secara kasar, saya pikir anak sekolah di Indonesia, Amerika atau mana saja, akan lebih mudah mengulang jingle atau motto salah satu iklan yang mereka dengarkan di TV atau lihat di spanduk pinggir jalan ketimbang mengulang satu kalimat yang guru mereka utarakan di kelas hari itu. Saya bahkan berani bertaruh kalau kita faktorkan variabel frekuensi ke dalam perbandingan ini, dengan mengijinkan sang guru mengulang-ulang satu kalimat yang sama sejumlah ulangan salah satu jingle iklan di TV dalam sehari, saya pikir si anak masih akan tetap lebih bisa mengingat jingle iklan tadi. Menjual sesuatu bukanlah sekedar mengulang selarik kalimat lagi dan lagi. Ada lebih banyak rahasia dan lika-liku yang terlibat di satu proses menjual.

Kalau kita ibaratkan keduanya sebagai penembak tepat di masa perang, 'menjelaskan' punya sasaran yang berbeda dari 'menjual'. Proses menjelaskan suatu konsep mencoba bicara ke sisi kognitif individu yang tengah diajar, sementara proses menjual suatu benda atau konsep mengikutkan sisi emosi individu yang sama. Seseorang yang sekedar menjelaskan sesuatu tak perlu ambil pusing apakah hal yang tengah diajarkannya menarik atau relevan bagi murid didiknya. Sementara seseorang yang tengah menjual sesuatu mesti mencoba mengaitkan 'barang' (atau konsep) yang tengah dijualnya dengan konteks dan kebutuhan pelanggannya. Ia mesti mulai dari menciptakan sebentuk kekosongan dalam diri sang pelanggan yang hanya dapat diisi dengan barang jualannya.

Dalam pengalaman saya mencoba mengajar, sering tertemukan wajah-wajah capek atau acuh dalam kelas. Tak peduli sejelas ataupun selengkap apapun saya mengajar, wajah-wajah capek dan acuh tadi biasanya tak berubah jadi berbinar mengerti dan antusias. Bisa jadi di sinilah praktik saya mengajar, dan praktik siapapun juga yang punya tugas mengajar, bisa diperkaya dari komentar Einstein tadi: manusia bukan melulu makhluk rasional. Penjelasan-penjelasan gamblang tidak otomatis membangkitkan inspirasi dan rasa ingin tahu dalam diri manusia.

Dari 24 jam yang seseorang punya dalam sehari, besar kemungkinan hanya se per delapan nya terhabiskan sebagai makhluk rasional yang mengambil keputusan secara logis. Sementara sisanya, kita mesti dibujuk, dibuali, dihipnotis untuk membayar perhatian ke satu even atau satu ide eksklusif. Itu sebabnya advertising dan marketing adalah seni tersendiri. Mungkin kalau saya, dan guru-guru lain, mulai belajar jualan, menciptakan 'kebutuhan untuk tahu sesuatu' di benak dan emosi murid-murid saya sebelum nyerocos menjelaskan prinsip, konsep dan mekanisme, mungkin kelas-kelas saya akan punya lebih banyak wajah antusias dan ingin tahu. Dan sangat mungkin, hanya setelah kita belajar untuk menjual dan menjelaskan, baru kita tahu benar cara mengajar.

Comments

Unknown said…
karena komunikasi saya ikut mendengar, melihat, bergerak hingga berimajinasi :-) jadi bahasa buku yang kaku bisa hidup

Popular Posts