Sutradara
Situasi inilah yang kemudian meletakkan perjalanan batin yang selama ini sama sekali tidak pernah terpikirkan.
Energi muda yang dulu sangat agresif memproduksi aktivitas mulai berkurang. Bukan karena usia yang bertambah, tapi terasa ini lebih karena rasa tanggung jawab pada diri sendiri yang semakin besar.
Menjelang usia bertambah, hidup mengalami perubahan makna. Dulu, belajar dari masyarakat itu jadi eksistensi. Kalau nggak buat masyarakat, saya nggak ada.
Tapi setelah apa yang telah dicapai hingga kini, terasa ada yang seharusnya dipikir ulang lagi. Ini bukan karena adrenalin telah habis meledak. Tapi karena banyaknya masalah dalam proses yang di alami itu. Sudah saatnya untuk lebih membuka sensitifitas, terutama apa yang terjadi di masyarakat saat ini. Dan itu dimulai dari diri sendiri.
Kalau orangtua saya dulu sudah punya qitoh (pegangan prinsip) masing-masing, yaitu: sebagai kontrol bagi anaknya; dan bukan sutradara. "Setiap anak berhak menentukan jalan hidupnya masing-masing, kita hanya mengontrol kalau-kalau jalur itu tidak berjalan di rel yang benar. Sebatas mengingatkan, bukan sebagai sutradara". Kemudian nilai ini salah satu yang akhirnya membentuk diri. Dan karena itu diri ini sangat menghindar dari peran sebagai sutradara hidup bagi orang lain, termasuk keluarga, kekasih, sahabat atau siapapun itu.
Namun semakin kemari, terasa justru diri ini yang berada dalam situasi ambigu. Sadar atau tidak saya sudah berubah menjadi sutradara bagi diri sendiri, hehe. Perfeksionis dalam segala hal membuat diri berupaya meletakkan segala sesuatu di titik yang terbaik. Dan sangat melelahkan pikir, ternyata. Hingga kemudian berada di titik kulminasi bahwa apa yang dijalani selama ini hanya yang terbaik yang bisa dilakukan atas skenario dari Sang Maha Sutradara. Tuhan.
Berhenti menjadi sutradara. Kembali menjadi aktor.
Disinilah saya memulai dari awal kembali. Bukan hanya dari titik nol. Tapi justru dari ambang batas minus.
Tanggung jawab berubah dari hanya sekedar menyusun skenario atas skenario besar yang dibuat Sang Khalik dan kemudian selesai. Tapi mulai memahami kalau akan jauh lebih baik bila menjalani semua yang bisa dilakukan sebaik-baiknya untuk berbagi pada orang lain dan diri sendiri. Terhadap situasi yang ada di sekeliling. Juga adil pada diri sendiri.
Ambang minus itu menjadi awal. Awal pencerah buat saya sendiri.
Hidup ini berubah indah.
Dan mungkin karena itu diri ini berjanji tidak akan sesering kemarin dalam mensutradarai semua hal dalam hidup saya secara total. Bisa dibilang kali ini saya berhenti narsis. Jadi cameo sudah selesai. Dulu perfeksionis sebagai salah satu bentuk eksistensi. Percaya atau tidak, umumnya remaja pada usia 21-25 tahun orientasinya adalah mall, kafe, dan nongkrong; waktu mereka bahkan sampai 80 persen untuk kegiatan bersenang-senang. Sedangkan saya pada usia itu hanya sekitar 25 persen waktu untuk mall, kafe, dan nongkrong. Itu yang dimaksud tega mensutradarai diri sendiri. Artinya tega dengan pacar. Saat diajak jalan, nonton, kita terkadang berberat hati harus say no. Kita harus bekerja dan berkarya untuk masyarakat.
Menyesal? Saya rasa tidak. Itu bagian hidup yang di jalani, ikhlas atas proses belajar luar biasa dari Sang Khalik. Semuanya membuat lebih bersyukur. Pelajaran besar karena saya lebih memahami bahwa apa yang tampak tidak boleh disamakan.
Masing-masing orang punya jalan hidupnya masing-masing. Seperti halnya diri ini. Pecinta buku, tukang cerita, sangat menyukai sepi di tengah keramaian, memasuki mall demi mall, fashionholic, tapi juga menyukai berkubang lumpur di pasar nelayan..hehe.. Nyeleneh?! Mungkin lebih tepatnya aneh :p
Bismillah Arrahman Arrahim.
Semoga di sisa umur saya ini bisa menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bermanfaat bagi sesama, lebih dekat pada Sang Khalik.
Amen
Comments