Harmony in diversities …

Posting yang satu ini sebenernya tak tulis tanggal 30 Oktober kemaren, pas malam hari setelah presiden SBY berkunjung kekampusku. Tapi nggak sempet di post gara-gara sepanjang akhir minggu kemaren aku bad mood dan lebih banyak ngabisin waktu buat tidur, nonton film dan baca ulang The Namesake – nya Jhumpa Lahiri ....
-------------------------------------------------------------
Pagi tadi saya ketiban ‘sampur’ untuk ikut mendengarkan orasi ilmiahnya Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Ceritanya dalam rangka Diesnya Universitas Diponegoro, beliau ini diminta memberikan orasi ilmiah tentang kebudayaan nasional kita. Saya yang awalnya ogah – ogahan untuk berangkat (karena memang nggak suka acara seremonial dan protokoler), akhirnya datang juga, meski dengan perasaan sedikit terpaksa, ngayem – ngayemi diri sendiri kalau apapun yang terjadi disana, setidaknya ada pelajaran yang bisa saya ambil.

Well, saya ini termasuk produk sekolah Indonesia, yang sejak kecil mula di bangku sekolah cenderung selalu diajar buat menghormati (secara berlebihan) pada pemerintah dan kepala pemerintahannya – hal yang membuat saya sangat jengah (bahkan sebelum lulus SMA) hingga memutuskan untuk selalu absen setiap ada pemilihan umum. Sekian lama institusi kepresidenan kita memancarkan aura monarki dan represi. Meski dari mula Indonesia setuju untuk jadi republik yang demokratis. Tentu saja semua ini terus dikuatkan berita-berita betapa susahnya membuat para penguasa itu menyendengkan telinga buat mendengar argumentasi dan keinginan rakyat. Cara pikir minir ini semakin meluas manakala makin banyak kasus salah urus kebijakan di negeri kita (lumpur panas Lapindo Brantas, misalnya). So, klop-lah image tak terjembataninya pemerintah – rakyat Indonesia itu dalam memori ini.

Tapi mendengar orasi Presiden SBY tadi, bikin diri ini jadi sedikit lebih optimis akan masa depan hubungan pemerintah – rakyat di Indonesia. Negara kita ini memang kaya raya dengan budaya dari berbagai suku bangsa dan itu tercermin dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika (yang beliau terjemahkan sebagai Harmony in Diversities). Keberagaman. Itu yang bikin hidup lebih menarik bukan? Keharmonisan di tengah keberagaman (menurut saya) bukanlah hal yang absurd. Bukankah keharmonisan itu indah? Bayangkan saja kalo orang Dayak dan Madura bisa hidup berdampingan dengan tenang dan damai, transmigran dari Jawa diterima baik di tanah rantau sana, reformasi birokrasi di segala bidang bisa berjalan lancar.. Semoga ini bukanlah sekedar mimpi tak berujung ..

Comments

Popular Posts