Lorong waktu
Akhir bulan ini saya dijadwalkan untuk mengirim makalah presentasi. Sahabat baik saya yang sedang ambil PhD di Taiwan menawarkan waktu satu bulan penuh untuk mempersiapkan ini semua. Peserta nantinya akan diberikan kehormatan untuk mempresentasikan sepenuh pengetahuan mereka di subyek ilmu yang bersangkutan. Di kasus saya, dengan keadaan konsentrasi yang sedang kurang fokus macam sekarang ini, berarti harus ekstra siap memeras semua pengetahuan yang saya miliki, dan juga menumpahkannya secara sempurna dalam sekejap. Pwufff…. Setengah mati menjalani ini semua ... Alih-alih meski nggak lebih dari lima lembar makalah .. tapi sampai detik inipun saya belum tau mau nulis apa dan mulai darimana..
Sebenarnya beberapa minggu panjang belakangan ini saya mencoba untuk mempersiapkan diri, tapi jadi sangat tidak fokus lantaran ada rencana ngawur yang saya selipkan dalam rencana besar hidup saya. Tiba-tiba saja asal bikin agenda belajar tahun ini, tanpa persiapan matang dan tanpa sepenuhnya memahami pentingnya faktor timing.. Wuihhh, bener-bener spontanisme yang keliru. Well, meski separuh nafas ingin terbang bebas menghirup ilmu seutuhnya dan lepas bebas dari kungkungan aktivitas yang mulai terasa sangat statis.. namun tidak sepantasnya melarikan diri dari kejenuhan dengan cara begitu itu. Toh kenyataannya separuh nafas saya yang lain justru berteriak kalau timingnya belum tepat saat ini. Terlalu banyak kesempatan yang akan terbuang sia-sia. Terlalu beresiko juga mengingat kemungkinan kalau kepakan sayap nantinya tak bisa sepenuhnya bebas lepas. Alhasil nalar dan naluri pun membawa saya kembali menelusuri lorong waktu, menunda keinginan terbang lepas.. setidaknya untuk satu tahun ke depan.
Yang membuat saya terkejut, ternyata saya kok merasa baik-baik aja ya dengan itu semua. Tetap melenggang dan menikmati segala sesuatu dalam hidup, tentu saja termasuk spontanitas ngawur yang nyaris bikin kacau itu tadi.. Kind of a joke, really. How can you expect to rehearse all things you ever taken in your academic life?
Dan di tengah aktivitas ala Sisifus ini terbersit satu pertanyaan di benak saya. All this hard knowledge and then what? Dalam bayangan saya, seperti halnya mendaki Everest, pertanyaan bodoh macam ini bisa diikuti sampai dua kemungkinan konklusi berbeda: kemungkinan begitu luas bisa bikin hati kelu, kaki lemas, hilang selera; namun bisa pula bikin diri bergegas dan tangan gatal tak sabar. Sungguh, jarang ada sesuatu yang lebih membakar semangat dari pada kesempatan tanpa batas, seperti halnya jarang ada hal lebih menakutkan dari pada kesempatan tanpa batas. Uniknya, saya temukan keduanya tak saling eksklusif.
Dalam hidup, setiap insan mungkin punya kerinduan untuk jadi abadi. Menelusuri lorong waktu,meninggalkan jejak. Untuk diingat. Untuk tetap hidup meski tak lagi menapak bumi. Ini dilogikakan karena sebagai manusia yang terbatas adakalanya tergoda untuk jadi nggak tahu diri dan kepengen jadi nggak terbatas.
Saya sendiri lebih sreg dengan pendekatan yang lain: kita punya kerinduan untuk jadi abadi karena emang 'dari sono'nya punya keinginan untuk jadi abadi. Tapi segala yang kita lihat di dunia kasad mata ini bicara lain: perang, bencana kelaparan, penyakit, semua seolah membisikkan pesan ke jiwa manusia tentang kesementaraan, kerentanan hidup. Dan kita pun harus ikhlas untuk jadi 'insyaf', untuk mengkonformasi diri ke 'kenyataan' yang tiap hari melingkupi hidup. Bahwa hidup emang cuma 'mampir ngombe'. Hati, roh, yang dicipta untuk jadi abadi, terkungkung oleh lingkungan informasi yang seragam berteriak tentang kesementaraan. Maka kita pun beraspirasi untuk jadi abadi dengan cara apapun. Menulis, berderma, berusaha melakukan sebanyak-banyak kebaikan. Mengingat bahwa ada kehidupan lain setelah ini, bahwa kita hidup, kita ada, semua tidak lain karena anugerah dariNya semata. Dan saya yakin, Yang Maha Memberi yang telah mengatur segala sesuatunya ini, menyiapkan kapan waktu yang terbaik untuk kita menjalani scenario dalam hidup ini. Dan riak – riak dalam hidup bukanlah sesuatu yang tidak bisa kita lalui dengan tegak.
Setidak-tidaknya dari sesuatu yang tertunda itu ada hikmah besar yang bisa dipetik. Bahwa aktivitas yang kita jalani selama ini nggak selamanya berada dalam jalan yang lempeng dan mulus, justru dengan tikungan yang menunggu di depan membuat segala sesuatunya lebih hidup. Dan dengan semua kejadian yang ada - membuat kita kembali untuk berpikir ulang; dan menjalani aktivitas - bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri, atau kepentingan sebuah lembaga; atau sekedar mengisi waktu dan menebalkan kantong sendiri.
Berhenti melakukan rutinitas autistik.
Dan tidak lagi menjadi insan robotik yang melakukan aktivitas rutinitas tanpa tujuan hakiki yang bisa dipertanggungjawabkan secara moralitas pada masyarakat.
Mungkin nggak semua insan sepenuhnya setuju dengan pilihan ini. Dan sah-sah saja menurut saya, toh ini ranahnya masuk asasi perseorangan. Tapi saya pikir, hal-hal yang sebagian kita lihat sebagai 'vain attempts', hal-hal yang ditertawakan oleh mereka yang mengklaim posisi moral: meninggalkan jejak dengan cara apapun juga, buat saya adalah bukti dan sumber pengharapan bahwa manusia tidak dicipta sekedar untuk 'mampir ngombe'. Tapi juga beraktivitas, berkarya, bermanfaat bagi sesama. Berpijak di bumi, menelusuri lorong waktu dengan segenap pemikiran positif. Bahwa apa yang diberikan olehNya ini sangatlah luar biasa. That's it. That's reality for you.
Sebenarnya beberapa minggu panjang belakangan ini saya mencoba untuk mempersiapkan diri, tapi jadi sangat tidak fokus lantaran ada rencana ngawur yang saya selipkan dalam rencana besar hidup saya. Tiba-tiba saja asal bikin agenda belajar tahun ini, tanpa persiapan matang dan tanpa sepenuhnya memahami pentingnya faktor timing.. Wuihhh, bener-bener spontanisme yang keliru. Well, meski separuh nafas ingin terbang bebas menghirup ilmu seutuhnya dan lepas bebas dari kungkungan aktivitas yang mulai terasa sangat statis.. namun tidak sepantasnya melarikan diri dari kejenuhan dengan cara begitu itu. Toh kenyataannya separuh nafas saya yang lain justru berteriak kalau timingnya belum tepat saat ini. Terlalu banyak kesempatan yang akan terbuang sia-sia. Terlalu beresiko juga mengingat kemungkinan kalau kepakan sayap nantinya tak bisa sepenuhnya bebas lepas. Alhasil nalar dan naluri pun membawa saya kembali menelusuri lorong waktu, menunda keinginan terbang lepas.. setidaknya untuk satu tahun ke depan.
Yang membuat saya terkejut, ternyata saya kok merasa baik-baik aja ya dengan itu semua. Tetap melenggang dan menikmati segala sesuatu dalam hidup, tentu saja termasuk spontanitas ngawur yang nyaris bikin kacau itu tadi.. Kind of a joke, really. How can you expect to rehearse all things you ever taken in your academic life?
Dan di tengah aktivitas ala Sisifus ini terbersit satu pertanyaan di benak saya. All this hard knowledge and then what? Dalam bayangan saya, seperti halnya mendaki Everest, pertanyaan bodoh macam ini bisa diikuti sampai dua kemungkinan konklusi berbeda: kemungkinan begitu luas bisa bikin hati kelu, kaki lemas, hilang selera; namun bisa pula bikin diri bergegas dan tangan gatal tak sabar. Sungguh, jarang ada sesuatu yang lebih membakar semangat dari pada kesempatan tanpa batas, seperti halnya jarang ada hal lebih menakutkan dari pada kesempatan tanpa batas. Uniknya, saya temukan keduanya tak saling eksklusif.
Dalam hidup, setiap insan mungkin punya kerinduan untuk jadi abadi. Menelusuri lorong waktu,meninggalkan jejak. Untuk diingat. Untuk tetap hidup meski tak lagi menapak bumi. Ini dilogikakan karena sebagai manusia yang terbatas adakalanya tergoda untuk jadi nggak tahu diri dan kepengen jadi nggak terbatas.
Saya sendiri lebih sreg dengan pendekatan yang lain: kita punya kerinduan untuk jadi abadi karena emang 'dari sono'nya punya keinginan untuk jadi abadi. Tapi segala yang kita lihat di dunia kasad mata ini bicara lain: perang, bencana kelaparan, penyakit, semua seolah membisikkan pesan ke jiwa manusia tentang kesementaraan, kerentanan hidup. Dan kita pun harus ikhlas untuk jadi 'insyaf', untuk mengkonformasi diri ke 'kenyataan' yang tiap hari melingkupi hidup. Bahwa hidup emang cuma 'mampir ngombe'. Hati, roh, yang dicipta untuk jadi abadi, terkungkung oleh lingkungan informasi yang seragam berteriak tentang kesementaraan. Maka kita pun beraspirasi untuk jadi abadi dengan cara apapun. Menulis, berderma, berusaha melakukan sebanyak-banyak kebaikan. Mengingat bahwa ada kehidupan lain setelah ini, bahwa kita hidup, kita ada, semua tidak lain karena anugerah dariNya semata. Dan saya yakin, Yang Maha Memberi yang telah mengatur segala sesuatunya ini, menyiapkan kapan waktu yang terbaik untuk kita menjalani scenario dalam hidup ini. Dan riak – riak dalam hidup bukanlah sesuatu yang tidak bisa kita lalui dengan tegak.
Setidak-tidaknya dari sesuatu yang tertunda itu ada hikmah besar yang bisa dipetik. Bahwa aktivitas yang kita jalani selama ini nggak selamanya berada dalam jalan yang lempeng dan mulus, justru dengan tikungan yang menunggu di depan membuat segala sesuatunya lebih hidup. Dan dengan semua kejadian yang ada - membuat kita kembali untuk berpikir ulang; dan menjalani aktivitas - bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri, atau kepentingan sebuah lembaga; atau sekedar mengisi waktu dan menebalkan kantong sendiri.
Berhenti melakukan rutinitas autistik.
Dan tidak lagi menjadi insan robotik yang melakukan aktivitas rutinitas tanpa tujuan hakiki yang bisa dipertanggungjawabkan secara moralitas pada masyarakat.
Mungkin nggak semua insan sepenuhnya setuju dengan pilihan ini. Dan sah-sah saja menurut saya, toh ini ranahnya masuk asasi perseorangan. Tapi saya pikir, hal-hal yang sebagian kita lihat sebagai 'vain attempts', hal-hal yang ditertawakan oleh mereka yang mengklaim posisi moral: meninggalkan jejak dengan cara apapun juga, buat saya adalah bukti dan sumber pengharapan bahwa manusia tidak dicipta sekedar untuk 'mampir ngombe'. Tapi juga beraktivitas, berkarya, bermanfaat bagi sesama. Berpijak di bumi, menelusuri lorong waktu dengan segenap pemikiran positif. Bahwa apa yang diberikan olehNya ini sangatlah luar biasa. That's it. That's reality for you.
Comments